14 research outputs found

    OH-4 Upaya Keberlanjutan Program Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis Tertarget dan PIB dengan Pendekatan One Health Melalui Pemanfaatan Dana Desa

    Get PDF
    PENDAHULUANMunculnya kembali Penyakit Infeksi Baru/Berulang (PIB-Emerging infectious diseases (EIDs)) semakin cepat terjadi. Diperkirakan lima PIB muncul setiap tahun, tiga diantaranya bersifat zoonosis. Pendekatan One Health dianggap sebagai solusi dari permasalahan yang timbul akibat wabah zoonosis dan PIB. Pendekatan One Health menekankan kerja sama antar disiplin, berbagi informasi dan kolaborasi di semua tingkat dari pengambil kebijakan hingga petugas lapangan, terutama dalam surveilans. Keterbatasan SDM di tingkat lapangan dengan cakupan area yang sangat luas dianggap dapat diatasi dengan pelibatan peran aktif masyarakat dalam meningkatkan upaya deteksi dini dan pelaporan awal zoonosis dan PIB. Namun demikian program tersebut memiliki tantangan signifikan terkait dana operasional kader yang merupakan bagian dari masyarakat

    OH-5 Tata Laksana Kasus Gigitan Terpadu (TAKGIT) Sebagai Model Implementasi One Health dalam Optimalisasi Pengendalian Rabies di Bali

    Get PDF
    PENDAHULUANIndonesia merupakan salah satu negara endemis rabies. Salah satu provinsi dengan jumlah kasus rabies yang tinggi adalah Provinsi Bali. Sejak November 2008 Provinsi Bali dinyatakan tertular rabies dengan jumlah manusia meninggal karena rabies dari tahun 2008 - 2017 mencapai 170 orang, sedangkan Kasus positif rabies HPR berjumlah 1.716 kasus.Beberapa upaya pengendalian telah dilakukan untuk menekan kejadian kasus rabies. Salah satu program yang cukup efektif adalah program pengendalian yang dilaksanakan secara terpadu dan lintas sektor yang sering disebut Tata laksana Kasus Gigitan Terpadu (TAKGIT). TAKGIT merupakan salah satu implementasi pendekatan “ONE Health” dan merupakan panduan bagi petugas lapangan dalam merespon dan menindaklanjuti kejadian kasus gigitan hewan diduga rabies yang dikoordinasikan lintas sektor (kesehatan manusia dan kesehatan hewan). Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan peran TAKGIT dalam merespon kasus gigitan diduga hewan pembawa rabies (HPR) dan kontribusinya menurunkan kasus pada manusia

    OH-3 One health, Tantangan dan Peluang dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies pada Konservasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Way Kambas Lampung

    Get PDF
    PENDAHULUANTaman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di provinsi Lampung adalah habitat hutan yang sangat penting untuk konservasi mamalia besar di Indonesia. Daerah ini adalah habitat alami bagi spesies satwa langka dan terancam punah di dunia termasuk gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Berdasarkan IUCN (2013) gajah Sumatra adalah spesies yang terancam punah dan berisiko menjadi punah (CITES APPENDIX I) dan dilindungi.Pusat Latihan Gajah (PLG) dengan luas sekitar 2.000 ha di TNWK adalah salah satu fasilitas penting untuk konservasi gajah Sumatera yang meripakan bagian penting dari konservasi alam Indonesia. PLG didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985 memelihara gajah konflik yang bersasal dari Sumatera Selatan dan Lampung. PLG juga sebagai pusat konservasi gajah sumatera dan tempat tujuan wisata unggulan yang mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Deforestasi, kerusakan habitat dan perburuan liar telah mengakibatkan penurunan populasi gajah Sumatra secara signifikan. Faktor lain yang penting adalah penyakit termasuk penyakit infeksi baru dan zoonosis.Tantangan Pencegahan dan pengendalian zoonosis dengan pendekatan one health dengah keterbatasan sumber daya manusia khususnya tenaga medis dan petugas lapangan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Kerjasama lintas sektor antara kesehatan manusia (Kementerian Kesehatan - Kemenkes), kesehatan hewan (Kementerian Pertanian - Kementan), kesehatan satwaliar (kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - KLHK) dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) sangat diperlukan.Jumlah penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) khususnya yang bersumber dari satwa liar mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Jones et al,. 2008). Perubahan iklim, introduksi spesies invasif, urbanisasi, kegiatan pertanian dan hilangnya biodiversitas termasuk deforestasi yang berimplikasi terhadap peningkatan penyebaran patogen menular. Deforestasi dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan penyakit baru terutama yang bersumber dari satwa liar (Sehgal. 2010).Zoonosis yang ‘reservoir’nya satwa liar menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua benua yang mana penularan berbagai patogen nya dipengaruhi oleh banyak factor (Kruse et al,. 2004).Rabies penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus(dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat  akut serta menyerang susunan saraf pusat,  hewan  berdarah  panas dan  manusia.Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana sedapat mungkin memperkecil kesenjangan disiplin ilmu antara ahli penyakit menular, ahli satwa liar, ahli ekologi dan ahli sosial dalam meneliti dan memahami semua aspek yang terkait dengan penyakit baru muncul yang inang antaranya adalah satwa liar (Wilcox and Ellis B. 2006), hal ini juga terjadi pada petugas lapangan sektor kesehatan satwa liar. Upaya untuk mengatasi penyakit infeksi baru dan zoonosis pada satwa liar bergantung kepada jejaring lintas sektor dan lintas disiplin ilmu yang efisien di tingkat nasional, regional dan internasional, sehingga dapat dilakukan saling tukar menukar informasi untuk kewaspadaan dini serta respon tepat waktu dan efektif terhadap kemungkinan kemunculan wabah penyakit dapat dilakukan (Kruse et al,. 2004).”One Health” adalah suatu konsep satu kesehatan yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan lingkungannya yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Katz et al,. 2010) yang merupakan peluang yang harus dimanfaatkan untuk pencegahan dan pengendalina Rabies untuk konservasi gajah

    OH-3 One health, Tantangan dan Peluang dalam Pencegahan dan Pengendalian Rabies pada Konservasi Gajah Sumatera di Taman Nasional Way Kambas Lampung

    Get PDF
    PENDAHULUANTaman Nasional Way Kambas (TNWK) yang terletak di provinsi Lampung adalah habitat hutan yang sangat penting untuk konservasi mamalia besar di Indonesia. Daerah ini adalah habitat alami bagi spesies satwa langka dan terancam punah di dunia termasuk gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Berdasarkan IUCN (2013) gajah Sumatra adalah spesies yang terancam punah dan berisiko menjadi punah (CITES APPENDIX I) dan dilindungi.Pusat Latihan Gajah (PLG) dengan luas sekitar 2.000 ha di TNWK adalah salah satu fasilitas penting untuk konservasi gajah Sumatera yang meripakan bagian penting dari konservasi alam Indonesia. PLG didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985 memelihara gajah konflik yang bersasal dari Sumatera Selatan dan Lampung. PLG juga sebagai pusat konservasi gajah sumatera dan tempat tujuan wisata unggulan yang mendukung perekonomian masyarakat sekitar. Deforestasi, kerusakan habitat dan perburuan liar telah mengakibatkan penurunan populasi gajah Sumatra secara signifikan. Faktor lain yang penting adalah penyakit termasuk penyakit infeksi baru dan zoonosis.Tantangan Pencegahan dan pengendalian zoonosis dengan pendekatan one health dengah keterbatasan sumber daya manusia khususnya tenaga medis dan petugas lapangan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Kerjasama lintas sektor antara kesehatan manusia (Kementerian Kesehatan - Kemenkes), kesehatan hewan (Kementerian Pertanian - Kementan), kesehatan satwaliar (kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan - KLHK) dan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) sangat diperlukan.Jumlah penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) khususnya yang bersumber dari satwa liar mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Jones et al,. 2008). Perubahan iklim, introduksi spesies invasif, urbanisasi, kegiatan pertanian dan hilangnya biodiversitas termasuk deforestasi yang berimplikasi terhadap peningkatan penyebaran patogen menular. Deforestasi dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan penyakit baru terutama yang bersumber dari satwa liar (Sehgal. 2010).Zoonosis yang ‘reservoir’nya satwa liar menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua benua yang mana penularan berbagai patogen nya dipengaruhi oleh banyak factor (Kruse et al,. 2004).Rabies penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus(dari bahasa Yunani Lyssayang berarti mengamuk atau kemarahan), bersifat  akut serta menyerang susunan saraf pusat,  hewan  berdarah  panas dan  manusia.Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana sedapat mungkin memperkecil kesenjangan disiplin ilmu antara ahli penyakit menular, ahli satwa liar, ahli ekologi dan ahli sosial dalam meneliti dan memahami semua aspek yang terkait dengan penyakit baru muncul yang inang antaranya adalah satwa liar (Wilcox and Ellis B. 2006), hal ini juga terjadi pada petugas lapangan sektor kesehatan satwa liar. Upaya untuk mengatasi penyakit infeksi baru dan zoonosis pada satwa liar bergantung kepada jejaring lintas sektor dan lintas disiplin ilmu yang efisien di tingkat nasional, regional dan internasional, sehingga dapat dilakukan saling tukar menukar informasi untuk kewaspadaan dini serta respon tepat waktu dan efektif terhadap kemungkinan kemunculan wabah penyakit dapat dilakukan (Kruse et al,. 2004).”One Health” adalah suatu konsep satu kesehatan yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan lingkungannya yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Katz et al,. 2010) yang merupakan peluang yang harus dimanfaatkan untuk pencegahan dan pengendalina Rabies untuk konservasi gajah

    Designing programs for eliminating canine rabies from islands: Bali, Indonesia as a case study

    Get PDF
    <p>Background: Canine rabies is one of the most important and feared zoonotic diseases in the world. In some regions rabies elimination is being successfully coordinated, whereas in others rabies is endemic and continues to spread to uninfected areas. As epidemics emerge, both accepted and contentious control methods are used, as questions remain over the most effective strategy to eliminate rabies. The Indonesian island of Bali was rabies-free until 2008 when an epidemic in domestic dogs began, resulting in the deaths of over 100 people. Here we analyze data from the epidemic and compare the effectiveness of control methods at eliminating rabies.</p> <p>Methodology/Principal Findings: Using data from Bali, we estimated the basic reproductive number, R0, of rabies in dogs, to be ~1·2, almost identical to that obtained in ten–fold less dense dog populations and suggesting rabies will not be effectively controlled by reducing dog density. We then developed a model to compare options for mass dog vaccination. Comprehensive high coverage was the single most important factor for achieving elimination, with omission of even small areas (<0.5% of the dog population) jeopardizing success. Parameterizing the model with data from the 2010 and 2011 vaccination campaigns, we show that a comprehensive high coverage campaign in 2012 would likely result in elimination, saving ~550 human lives and ~$15 million in prophylaxis costs over the next ten years.</p> <p>Conclusions/Significance: The elimination of rabies from Bali will not be achieved through achievable reductions in dog density. To ensure elimination, concerted high coverage, repeated, mass dog vaccination campaigns are necessary and the cooperation of all regions of the island is critical. Momentum is building towards development of a strategy for the global elimination of canine rabies, and this study offers valuable new insights about the dynamics and control of this disease, with immediate practical relevance.</p&gt

    Immunogenicity of Oral Rabies Vaccine Strain SPBN GASGAS in Local Dogs in Bali, Indonesia

    No full text
    Dog-mediated rabies is endemic in much of Indonesia, including Bali. Most dogs in Bali are free-roaming and often inaccessible for parenteral vaccination without special effort. Oral rabies vaccination (ORV) is considered a promising alternative to increase vaccination coverage in these dogs. This study assessed immunogenicity in local dogs in Bali after oral administration of the highly attenuated third-generation rabies virus vaccine strain SPBN GASGAS. Dogs received the oral rabies vaccine either directly or by being offered an egg-flavored bait that contained a vaccine-loaded sachet. The humoral immune response was then compared with two further groups of dogs: a group that received a parenteral inactivated rabies vaccine and an unvaccinated control group. The animals were bled prior to vaccination and between 27 and 32 days after vaccination. The blood samples were tested for the presence of virus-binding antibodies using ELISA. The seroconversion rate in the three groups of vaccinated dogs did not differ significantly: bait: 88.9%; direct-oral: 94.1%; parenteral: 90.9%; control: 0%. There was no significant quantitative difference in the level of antibodies between orally and parenterally vaccinated dogs. This study confirms that SPBN GASGAS is capable of inducing an adequate immune response comparable to a parenteral vaccine under field conditions in Indonesia

    Vaccination strategies.

    No full text
    <p>The probability of eradication following: (Ai) 1; (Aii) 2; (Aiii) 3 campaigns under a range of coverages (40, 60, 80%) and inter–campaign intervals (0, 6, 12 months); (Aiv) vaccination as implemented on Bali, and projected from January 2012 when rabies was still circulating. The time to eradication (medians with 95% PI) for a range of: (B) frequencies of human–mediated transport of dogs (<i>p</i> = 0, 0.02 or 0.05) and campaign strategies (<a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#pntd-0002372-t002" target="_blank">Table 2</a>). 95% PI of the one-month ‘sync’ strategy is highlighted (grey band) for comparison with the six–month strategies; (C) coverages when campaigns last 1 month or 6 months. (D) The probability of eradication with % island area left unvaccinated, made up of either randomly chosen 1 km squares (solid lines) or randomly chosen blocks, and when human-mediated movement of dogs was either infrequent (<i>p</i> = 0.02, grey) or frequent (<i>p</i> = 0.05, black).</p

    Model description.

    No full text
    <p>(A) Secondary cases are drawn from the (i) offspring distribution, and become infectious at a date drawn from the (ii) generation interval distribution: here four secondary cases are generated by the index case (black dot) which become infectious on day 14, 21, 23, and 35. The occurrence of secondary cases depends on vaccination coverage in the grid cell at the time of transmission. (iii) With probability 1–<i>p</i> each offspring occurs at a location generated from the local dispersal kernel (solid black arrows). (iv) With probability <i>p</i>, each offspring occurs on any randomly chosen grid cell (broken black arrow). It took 2.2 years for rabies to be detected in all nine Regencies (grey band), consistent with <i>p</i> = 0.05–0.09 (black dots are medians with 95% PIs from 100 simulations). See <a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#pntd-0002372-t001" target="_blank">Table 1</a> for parameterization of distributions. (v) Human rabies deaths versus confirmed dog rabies cases, showing the best-fit relationship (black line, see <a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#s3" target="_blank">Results</a> for equation) and 95% confidence intervals (grey area). (B) 95% PI envelope of simulated cases (grey area) with annual campaigns of the ‘random’ mass vaccination strategy (green line, <a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#pntd-0002372-t002" target="_blank">Table 2</a>), which is rolled out when cumulative cases reach 7,000 and from which point the time to eradication is measured.</p

    Key epidemiological and operational variables determining the success of rabies vaccination programmes in terms of the predicted probability of eradication (grey y–axis and line) and time to eradication (black y–axis, medians and 95% PI), showing sensitivity to: (A) the basic reproductive number, <i>R</i><sub>0</sub>, (B) vaccination coverage (achieved at the time and location of the campaign (see Fig. 4)), (C) annual dog population turnover, with conversion into birth/death rate assuming constant population size (birth rates equal to death rates), and (D) duration of immunity provided by vaccine.

    No full text
    <p>Based on 1000 simulations generated using parameters in <a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#pntd-0002372-t001" target="_blank">Table 1</a> (unless specified) and annual campaigns of the ‘random’ mass vaccination strategy (<a href="http://www.plosntds.org/article/info:doi/10.1371/journal.pntd.0002372#pntd-0002372-t002" target="_blank">Table 2</a>).</p
    corecore